Cara Riset Pasar Buku Indonesia dan Mengetahui Tren Genre di Toko Buku dan E-commerce Lokal

Dalam Artikel Ini

Dulu, saya menulis hanya karena passion. Saya menulis apa pun yang muncul di kepala, tanpa peduli apakah ada orang yang mau membacanya—apalagi membelinya. Hasilnya bisa ditebak: naskah pertama saya, yang saya yakini sebagai karya jenius, akhirnya duduk manis di rak toko buku, tertutup debu di antara ribuan buku lain yang bernasib sama. Saya menulis sesuatu yang mungkin hanya saya dan seekor kucing saya yang tertarik.

Dari situ saya sadar, jika seorang penulis ingin karyanya dibaca dan dibeli, ia harus menjadi seorang Detektif Pasar. Menulis memang seni, tapi menjual adalah sains. Dan sains itu dimulai dengan riset. Saya mulai belajar bahwa penerbit tidak sekadar mencari cerita bagus, mereka mencari cerita bagus yang selaras dengan kebutuhan dan tren pasar.

Membaca Vibe di Toko Buku

Saya memulai perjalanan menjadi detektif dengan cara paling sederhana: pergi ke toko buku. Bagi sebagian orang ini mungkin terasa kuno, tapi bagi saya, toko fisik menawarkan sesuatu yang tidak bisa diberikan data digital—energi, suasana, dan vibe. Di sana saya memperhatikan buku apa yang dipajang di meja utama atau di rak ujung lorong. Area itu bukan sembarang tempat, melainkan ruang yang penerbit bayar mahal untuk memastikan buku-buku mereka terlihat. Artinya, buku-buku di sana hampir pasti laku. Dari genre, desain sampul, hingga nama penulis yang ditampilkan, semuanya memberi petunjuk tentang selera pasar.

Saya juga memperhatikan hal-hal kecil yang sering terabaikan, seperti harga buku dan jenis kertas yang dipakai. Buku dengan kertas ringan berwarna krem biasanya menandakan strategi untuk menjaga harga tetap terjangkau, sementara hardcover yang tebal menunjukkan bahwa ada pembaca yang rela berinvestasi lebih untuk kualitas atau prestise. Bahkan ketebalan buku bisa memberi saya gambaran: apakah pembaca saat ini lebih menyukai bacaan tipis yang bisa selesai dalam sekali duduk, atau novel panjang yang bisa menemani mereka berminggu-minggu.

Dan bagian paling menyenangkan adalah ketika saya diam-diam menguping percakapan pembeli. Sering kali saya mendengar mereka bertanya kepada pramuniaga dengan deskripsi samar, seperti, “Mbak, ada nggak buku yang ceritanya kayak gini, tapi tokohnya begini?” Dari pertanyaan-pertanyaan itu, saya belajar bahwa ada kebutuhan tersembunyi yang belum terjawab pasar. Itu semacam celah rahasia yang bisa saya isi.

Membaca Angka di Dunia Digital

Setelah puas dengan riset lapangan, saya masuk ke dunia digital. Toko daring adalah tambang data. Jika toko buku fisik memberi saya rasa, maka e-commerce memberi saya angka. Saya membuka halaman kategori buku di platform besar seperti Tokopedia atau Shopee, lalu menyaring berdasarkan produk terlaris atau ulasan tertinggi dalam 30 hari terakhir. Dari sana, saya bisa melihat dengan jelas genre dan judul apa yang sedang benar-benar diburu pembaca, bukan hanya tren tahun lalu.

Lebih jauh lagi, saya mempelajari pola judul dan subjudul. Misalnya, buku self-help belakangan cenderung menggunakan judul yang spesifik dan langsung menyentuh masalah pembaca, seperti “Berani Tidak Disukai” atau “Filosofi Teras”. Sementara di fiksi, saya menemukan tren judul-judul pendek, puitis, dan penuh sugesti. Semua ini memberi saya panduan, bagaimana saya sebaiknya menamai naskah agar langsung terasa relevan.

Namun, bagian paling berharga justru tersembunyi di kolom komentar. Ulasan bintang lima biasanya mengungkapkan apa yang sangat disukai pembaca, misalnya cerita yang cepat dan tidak bertele-tele. Sebaliknya, ulasan bintang dua sering berisi keluhan tentang hal-hal yang membuat mereka jengkel, seperti terlalu banyak deskripsi membosankan. Dari situ saya belajar, apa yang sebaiknya saya pertahankan dan apa yang sebaiknya saya hindari.

Merumuskan Strategi dari Temuan

Semua data itu kemudian saya rangkum. Saya biasanya menemukan pola yang mengerucut menjadi tiga tren dominan dalam setahun, entah itu novel fantasi lokal dengan nuansa mitologi Nusantara, buku self-help tentang produktivitas untuk Gen Z, atau roman ringan yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Dari tren itu, saya mencoba memposisikan naskah saya.

Di titik ini, saya bertanya pada diri sendiri: di mana celah saya? Jika pasar penuh dengan kisah romansa CEO, mungkin saya bisa menulis kisah romansa seorang barista dengan luka lama. Jika rak self-help penuh dengan buku tentang keuangan, mungkin saya bisa menawarkan buku tentang manajemen waktu untuk penulis lepas. Intinya, naskah saya harus cukup mirip dengan tren agar terasa familiar, tapi juga cukup berbeda agar punya alasan untuk dibeli.

Saya bahkan menggunakan hasil riset untuk memikirkan sampul dan pitch saya. Jika tren visual sedang condong ke font tebal dengan warna kontras, saya pastikan mockup sampul saya tidak jauh dari itu. Saat mengirim proposal ke penerbit, saya tidak hanya menjual cerita, tapi juga menyertakan bukti riset yang meyakinkan: “Saya tahu ada pasar untuk ini, dan data inilah buktinya.”

Menulis karena passion adalah titik awal yang indah, tapi menulis dengan kesadaran pasar adalah kunci untuk menjadikan passion itu sebuah karier. Sekarang, setiap kali saya menulis, saya tidak hanya mengikuti bisikan imajinasi saya, tetapi juga mendengarkan suara-suara yang saya tangkap dari rak toko buku dan kolom komentar e-commerce.

Dan hasilnya? Buku-buku saya kini jauh lebih jarang tertutup debu.