Cara Efektif Parafrase Kalimat agar Terhindar dari Plagiarisme

Dalam Artikel Ini

Mengetahui cara parafrase yang efektif merupakan keterampilan penting dalam penulisan akademik. Banyak mahasiswa, peneliti, dan penulis ilmiah sering kali terjebak pada kesalahan yang membuat tulisan mereka terdeteksi sebagai plagiarisme, meskipun niatnya hanya untuk menyampaikan kembali ide orang lain dengan bahasa sendiri. Parafrase yang baik tidak sekadar mengganti kata dengan sinonim, tetapi menuntut pemahaman makna, konteks, dan gaya penyusunan kalimat. Dalam konteks akademik, kemampuan melakukan parafrase dengan tepat menjadi ukuran integritas ilmiah dan orisinalitas berpikir.

Pengertian Parafrase dalam Tulisan Akademik

Untuk memahami cara parafrase yang benar, penting terlebih dahulu mengetahui apa itu parafrase dalam konteks akademik. Menurut Keraf (2004) dalam Diksi dan Gaya Bahasa, parafrase adalah bentuk penyampaian kembali isi atau pesan dari suatu teks dengan menggunakan susunan kata dan struktur kalimat berbeda tanpa mengubah maknanya. Dengan kata lain, parafrase bukan hanya permainan sinonim, melainkan juga proses rekonstruksi wacana.

Sementara itu, menurut Lester dan Lester (2010) dalam Writing Research Papers, parafrase berarti “to restate another person’s ideas in your own words and sentence structure while preserving the original meaning.” Dari definisi ini, terlihat bahwa parafrase adalah bentuk penghormatan terhadap karya ilmiah orang lain: penulis menyerap ide, lalu menulis ulang dengan bahasanya sendiri.

Dalam konteks akademik, parafrase memiliki dua fungsi utama. Pertama, membantu penulis menunjukkan pemahaman terhadap sumber bacaan. Kedua, menghindarkan tulisan dari praktik plagiarisme. Oleh karena itu, cara parafrase yang benar harus disertai kemampuan menganalisis isi bacaan, memahami tujuan penulis sumber, dan menyesuaikan kembali dengan gaya tulisan sendiri.

Pentingnya Parafrase dalam Menulis Akademik

Parafrase menjadi keterampilan yang wajib dikuasai penulis akademik karena dalam penulisan ilmiah, setiap argumen harus memiliki dasar referensi. Namun, kutipan langsung yang terlalu banyak justru membuat tulisan kehilangan suara penulis sendiri. Oleh karena itu, melakukan parafrase dengan baik memungkinkan penulis memadukan ide dari berbagai sumber secara kreatif dan kritis.

Menurut Bailey (2018) dalam Academic Writing: A Handbook for International Students, mahasiswa yang dapat menulis ulang ide dengan bahasanya sendiri menunjukkan tingkat literasi akademik yang tinggi. Ia tidak sekadar menyalin, tetapi menafsirkan, mengintegrasikan, dan mengontekstualisasi gagasan. Dengan demikian, cara parafrase yang baik menjadi indikator kemampuan berpikir kritis dalam menulis ilmiah.

Selain itu, parafrase juga memperkuat keaslian karya. Dalam dunia akademik yang menekankan kejujuran dan kredibilitas, kesalahan dalam melakukan parafrase bisa berakibat fatal. Banyak kasus plagiarisme tidak disengaja justru terjadi karena penulis belum memahami teknik parafrase yang benar. Oleh karena itu, setiap penulis perlu menguasai prinsip parafrase sejak awal agar mampu menghasilkan karya orisinal sekaligus menghormati hak intelektual orang lain.

Contoh Parafrase yang Salah dan yang Diperbolehkan

Untuk memahami cara parafrase yang efektif, penting membedakan antara parafrase yang salah dan yang diperbolehkan. Misalnya, terdapat kalimat sumber:

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya.”
(UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional)

Parafrase yang salah:

Pendidikan merupakan kegiatan yang dirancang secara sadar untuk menciptakan proses belajar agar siswa bisa mengembangkan potensinya.

Sekilas tampak berbeda, tetapi struktur kalimat dan urutan makna masih identik. Hanya beberapa kata diganti sinonim, sehingga tetap berisiko plagiarisme.

Parafrase yang benar:

Melalui proses pendidikan yang dirancang secara sistematis, peserta didik diharapkan mampu menemukan dan mengembangkan potensi terbaiknya dalam suasana belajar yang mendukung.

Kalimat ini sudah menggunakan struktur berbeda, meski maknanya tetap setara. Penulis menunjukkan pemahaman terhadap isi sumber, bukan hanya mengganti kata.

Menurut American Psychological Association (APA, 2020), parafrase yang baik harus mengubah tiga unsur sekaligus: struktur kalimat, urutan gagasan, dan pilihan kata, tanpa mengubah makna pokok. Prinsip ini menjadi dasar bagi cara parafrase yang efektif dan etis.

Kesalahan Umum dalam Parafrase

Banyak penulis melakukan kesalahan dalam parafrase karena menganggap cukup mengganti kata dengan sinonim. Padahal, cara tersebut tidak cukup untuk menghindari plagiarisme. Kesalahan umum lainnya adalah mempertahankan urutan ide yang sama, mengutip tanpa sumber, atau tidak memahami konteks kalimat asli.

Menurut Suryawinata dan Aryanto (2003) dalam Translation: Bahasan Teori dan Penuntun Praktis Menerjemahkan, parafrase memerlukan pemahaman makna pada tataran semantik dan sintaksis. Jika penulis tidak memahami makna konseptual, parafrase hanya menjadi “pembungkus baru” tanpa perubahan substansi.

Oleh karena itu, setiap penulis perlu melakukan tiga langkah penting dalam cara parafrase yang benar: membaca secara mendalam, memahami konteks, lalu menulis ulang dengan gaya sendiri. Misalnya, sebelum memparafrase, pahami dulu ide utama dan detail pendukungnya. Setelah itu, singkirkan teks sumber dan tulislah kembali berdasarkan pemahaman sendiri.

Teknik Efektif Melakukan Parafrase

Ada beberapa teknik yang terbukti efektif untuk melakukan parafrase secara benar. Menurut Oshima dan Hogue (2006) dalam Writing Academic English, teknik parafrase mencakup:

  1. Mengubah struktur kalimat aktif menjadi pasif atau sebaliknya.
  2. Menggunakan bentuk nominalisasi atau verba untuk variasi sintaksis.
  3. Menyusun kembali urutan ide tanpa mengubah makna utama.
  4. Menggabungkan atau memisahkan kalimat agar lebih alami.

Misalnya, kalimat “Media sosial memengaruhi perilaku remaja secara signifikan” dapat diparafrase menjadi “Perilaku remaja mengalami perubahan yang signifikan akibat penggunaan media sosial.” Struktur berubah, makna tetap.

Selain itu, teknik kontekstualisasi juga penting. Ketika menulis laporan penelitian atau esai ilmiah, penulis dapat mengaitkan hasil parafrase dengan konteks kajian sendiri. Dengan begitu, parafrase bukan hanya reproduksi informasi, tetapi juga integrasi dalam kerangka berpikir baru.

Perbedaan Parafrase, Kutipan, dan Ringkasan

Dalam praktik akademik, cara parafrase sering kali disalahartikan sebagai ringkasan atau kutipan. Padahal, ketiganya memiliki fungsi berbeda. Menurut Gorys Keraf (1982), kutipan adalah pengambilan langsung dari sumber dengan tetap mencantumkan tanda kutip dan sumber aslinya. Sementara itu, ringkasan berarti menyederhanakan teks panjang dengan menghilangkan detail tertentu.

Parafrase berada di antara keduanya: isinya sama lengkap seperti sumber, tetapi disusun ulang dengan kata dan struktur baru. Misalnya, jika penulis ingin menjelaskan teori yang dikemukakan oleh ahli tanpa mengutip langsung, maka ia perlu memparafrase agar tulisan lebih mengalir dan tidak dipenuhi kutipan literal.

Pemahaman terhadap perbedaan ini membantu penulis menggunakan strategi yang tepat sesuai kebutuhan akademik. Parafrase digunakan untuk menunjukkan pemahaman, kutipan untuk menegaskan otoritas sumber, dan ringkasan untuk menyajikan inti informasi secara singkat.

Etika Akademik dan Penghindaran Plagiarisme

Menguasai cara parafrase bukan hanya soal teknik menulis, tetapi juga bagian dari etika akademik. Plagiarisme adalah pelanggaran serius yang dapat merusak reputasi akademik seseorang. Dalam Pedoman Etika Publikasi Ilmiah (Kemendikbudristek, 2021), dijelaskan bahwa plagiarisme meliputi penggunaan kata, struktur, atau ide orang lain tanpa mencantumkan sumber yang tepat, baik secara sengaja maupun tidak.

Bahkan, parafrase yang sudah diubah bahasanya pun tetap bisa dianggap plagiarisme jika tidak disertai sitasi sumber. Oleh karena itu, setiap hasil parafrase harus diikuti dengan rujukan yang jelas. Misalnya, “Menurut Brown (2007), motivasi belajar meningkat seiring meningkatnya interaksi sosial.” Dengan mencantumkan sumber, penulis menunjukkan transparansi ilmiah.

Selain itu, dalam konteks digital, penggunaan perangkat deteksi plagiarisme seperti Turnitin atau Grammarly Originality membantu memastikan bahwa hasil parafrase benar-benar berbeda dari teks sumber. Namun, perangkat ini hanya alat bantu; kemampuan parafrase tetap bergantung pada keahlian penulis memahami dan menulis ulang ide secara mandiri.

Strategi Melatih Kemampuan Parafrase

Kemampuan melakukan parafrase dapat dilatih secara bertahap. Pertama, penulis harus rajin membaca berbagai gaya tulisan akademik agar terbiasa mengenali variasi struktur kalimat. Kedua, biasakan menulis ulang ide dari bacaan dengan bahasa sendiri, lalu bandingkan dengan sumber untuk melihat perbedaan.

Menurut Hyland (2009) dalam Academic Discourse, mahasiswa yang terlatih dalam parafrase cenderung lebih produktif dalam menulis ilmiah karena mereka memiliki fleksibilitas linguistik. Mereka mampu mengadaptasi gagasan tanpa kehilangan makna. Oleh sebab itu, latihan parafrase tidak hanya menghindarkan dari plagiarisme, tetapi juga meningkatkan kecakapan menulis ilmiah.

Selain latihan manual, diskusi dengan dosen pembimbing atau rekan sejawat juga membantu memperbaiki parafrase. Mendapatkan umpan balik atas gaya bahasa, kejelasan ide, dan kecocokan makna akan memperkuat keterampilan parafrase akademik seseorang.

Menulis Parafrase dalam Bahasa Indonesia Akademik

Dalam konteks bahasa Indonesia, cara parafrase memiliki tantangan tersendiri. Bahasa Indonesia memiliki struktur yang lebih fleksibel dibanding bahasa Inggris, tetapi sering kali para penulis terjebak pada pola kalimat yang monoton. Untuk menghasilkan parafrase yang efektif, penulis perlu memahami variasi kalimat kompleks, penggunaan konjungsi, dan pilihan diksi ilmiah yang tepat.

Sebagai contoh, kalimat “Teknologi informasi memberikan dampak besar terhadap perubahan sistem pendidikan” dapat diparafrase menjadi “Perkembangan sistem pendidikan kini banyak dipengaruhi oleh kemajuan teknologi informasi.” Dengan mengubah urutan subjek dan predikat, serta memilih diksi berbeda, makna tetap utuh namun struktur berubah total.

Menurut Alwi dkk. (2010) dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, kemampuan mengubah struktur tanpa mengubah makna merupakan bentuk kecakapan gramatikal yang penting dalam tulisan akademik. Artinya, penguasaan kaidah sintaksis bahasa Indonesia juga menjadi bagian dari kemampuan melakukan parafrase secara efektif.

Kesimpulan

Menguasai cara parafrase yang benar adalah langkah penting untuk menjaga integritas akademik dan menghasilkan tulisan ilmiah yang orisinal. Parafrase bukan sekadar mengganti kata, tetapi juga memahami makna, konteks, dan struktur wacana. Melalui pemahaman teori parafrase, latihan berulang, serta penerapan etika akademik, penulis dapat menulis ulang ide orang lain secara mandiri tanpa kehilangan esensi.

Dalam dunia akademik yang semakin transparan dan kompetitif, kemampuan melakukan parafrase adalah bentuk tanggung jawab ilmiah. Ia menunjukkan bahwa penulis tidak hanya mampu mengutip, tetapi juga memahami, menafsirkan, dan mengomunikasikan ilmu dengan cara yang kreatif. Dengan demikian, para penulis, mahasiswa, maupun dosen perlu terus mengasah kemampuan ini agar dapat menulis karya ilmiah yang kredibel dan terbebas dari plagiarisme.