“Ketika sejarah tertulis oleh penguasa, siapa yang akan mengingat kisah yang terperangkap di dalamnya?”
Manusia adalah makhluk yang terbelenggu oleh masa lalunya. Setiap langkah yang mereka ambil, setiap keputusan yang mereka buat, adalah gema dari pengalaman yang telah membentuk mereka. Di tepian Sungai Musi, dalam dunia yang dikuasai oleh kolonialisme dan perdagangan, Noni menjalani hidupnya di antara kehinaan dan perlawanan. Ia, seorang perempuan yang terlahir dari garis keturunan yang diperdebatkan, dihantui oleh pertanyaan tentang identitasnya—siapa dirinya dalam mata orang-orang yang hanya melihatnya sebagai produk dari kehendak lelaki yang telah pergi.
Pieter de Carpentier, seorang lelaki yang memilih pengasingan daripada tanah airnya, menemukan bahwa pelariannya bukanlah kebebasan, melainkan sebuah pengulangan dari keterasingan yang telah lama mengendap dalam jiwanya. Ia, seperti banyak manusia lainnya, terus mengejar sesuatu yang tak bisa diraih: makna di tengah absurditas sejarah.
Dunia ini tak lebih dari panggung bagi konflik antara keinginan dan kenyataan, antara insting dan peradaban. Di antara pub yang usang, rumah pelacuran di rumah rakit yang berayun di atas Sungai Musi, dan pesta yang digelar oleh mereka yang duduk di puncak hierarki, tersembunyi kisah-kisah tentang kehilangan, dendam, dan ketidakmampuan manusia untuk benar-benar melepaskan dirinya dari rantai psikologis yang mengikatnya.
Mungkin, pada akhirnya, mereka tidak benar-benar menginginkan kebebasan. Mungkin mereka hanya ingin memahami mengapa dunia ini, yang mereka hidupi dengan begitu dalam, tak pernah benar-benar menjadi milik mereka.