Apa Itu Citra (Imagery) dalam Menulis? Pelajari 7 Jenis dan Contohnya untuk Memperkaya Cerita

Dalam Artikel Ini

Sebagai seorang penulis, ada satu masa di mana saya merasa frustrasi. Saya punya plot yang bagus, karakter yang menarik, dan dialog yang mengalir. Namun, saat saya membaca ulang draf saya, rasanya hambar. Seperti memakan sandwich tanpa bumbu. Saya juga sering mendengar kritik, “Ceritamu kurang rasa.”

Setelah kritikan itu muncul, saya bertanya-tanya; apa yang hilang? Mengapa pembaca tidak bisa ikut merasakan dinginnya angin padang rumput yang saya tuliskan, atau getirnya kopi yang diminum karakter utama? 

Jawabannya saya temukan ketika mengenal konsep citra (imagery). Saat itu saya tersadar, deskripsi bukan sekadar kumpulan kata; citra adalah jembatan yang membawa pembaca keluar dari dunia nyata mereka, melewati halaman-halaman kertas, lalu benar-benar mendarat di dunia yang saya ciptakan. Dan kunci dari citra adalah kelima indra manusia—bahkan lebih dari itu.

Saya pun mulai menyelami lebih dalam. Dari berbagai artikel dan panduan, saya menemukan sebuah kerangka yang mengubah cara pandang saya terhadap deskripsi, yaitu tujuh jenis citra. Saat memahami konsep ini, saya sadar bahwa saya tidak hanya menulis untuk mata pembaca, melainkan untuk seluruh tubuh dan perasaan mereka.

 

Citra adalah Kunci untuk Membuka Lima Indra

Citra, pada dasarnya, adalah penggunaan bahasa deskriptif dan figuratif untuk menarik indra pembaca. Selama ini, saya hanya fokus pada apa yang terlihat, yaitu Citra Visual. Padahal, ada enam indra lagi yang bisa saya eksploitasi.

Berikut adalah tujuh jenis citra yang saya pelajari dan mulai saya terapkan untuk memperkaya setiap adegan dalam novel saya.

1. Citra Visual (Penglihatan)

Ini adalah citra yang paling umum, tentang apa yang kita lihat. Namun, saya belajar untuk melangkah lebih jauh dari sekadar menyebut warna atau ukuran. Saya harus fokus pada detail yang tidak terduga dan membandingkannya.

Dulu: “Dia masuk ke dalam ruangan gelap dan melihat meja kayu.”

Sekarang: “Cahaya bulan yang malu-malu merangkak masuk melalui celah gorden, menyinari sepotong debu yang menari di udara. Meja kayu itu berkilauan seperti kaca yang kehausan, diukir dengan guratan waktu dan kegelisahan yang sama seperti kerutan di dahi ayah.”

2. Citra Auditorik (Pendengaran)

Suara adalah elemen penting yang langsung menciptakan suasana. Suara bisa berupa musik, kebisingan, atau, yang paling kuat, keheningan.

Dulu: “Tiba-tiba terdengar suara tembakan.”

Sekarang: “Di tengah keheningan yang tebal dan mematikan, desingan peluru merobek udara seolah kain sutra dirobek menjadi dua. Kemudian, hanya terdengar dengung rendah di telingaku, sisa dari ledakan yang merampas kemampuan pendengaranku.”

3. Citra Olfaktori (Penciuman)

Penciuman adalah indra yang paling kuat terkait dengan memori. Sebuah aroma dapat membawa pembaca langsung ke masa lalu karakter.

Dulu: “Ada bau masakan di dapur.”

Sekarang: “Saat pintu terbuka, hidungnya langsung diserbu aroma cengkeh, kayu manis, dan gula hangus—bau yang sama yang selalu muncul dari dapur Neneknya saat Natal. Bau itu adalah labirin nostalgia yang hangat dan sedikit pahit.”

4. Citra Gustatori (Pengecapan)

Rasa adalah citra yang secara langsung dialami. Jangan hanya menyebut ‘manis’; deskripsikan bagaimana rasa itu bereaksi di lidah.

Dulu: “Cokelat itu rasanya pahit.”

Sekarang: “Saat cokelat hitam itu meleleh di lidah, rasa pahit arang menyeruak, disusul kehangatan samar susu yang berkaramel. Rasanya seperti penyesalan yang dilebur—tajam di awal, tetapi meninggalkan rasa puas yang gelap.”

Citra yang Melibatkan Gerak dan Perasaan Batin

Selain kelima indra dasar, ada tiga jenis citra lagi yang berhubungan dengan gerak dan perasaan yang sering diabaikan penulis. Dua di antaranya sangat penting:

5. Citra Kinestetik (Gerakan)

Citra kinestetik menggambarkan gerakan fisik atau ketegangan. Ini membantu pembaca merasakan bagaimana rasanya melakukan suatu tindakan.

Dulu: “Dia berjalan dengan lambat.”

Sekarang: “Kaki-kakinya terasa berat dan menyeret, seolah dia sedang mengayuh melalui lumpur yang kental. Setiap langkah adalah perjuangan bisu melawan gravitasi dan kelelahan yang membebani bahunya.”

6. Citra Taktil (Sentuhan)

Citra sentuhan lebih dari sekadar ‘dingin’ atau ‘panas’. Ini tentang tekstur dan sensasi saat disentuh.

Dulu: “Selimut itu lembut.”

Sekarang: “Dia menarik selimut wol yang kasar dan gatal itu ke dagunya. Rasanya seperti sentuhan kasar dari janji yang tidak terpenuhi, tetapi kehangatan di baliknya adalah satu-satunya kenyamanan yang tersisa di ruangan yang dingin itu.”

7. Citra Organik (Perasaan Batin)

Jenis citra ini adalah yang paling mendalam, berhubungan dengan perasaan batin karakter, seperti rasa sakit, lapar, pusing, atau detak jantung. Ini membuat kondisi fisik karakter terasa nyata.

Dulu: “Perutnya sakit dan dia takut.”

Sekarang: “Gelombang rasa mual naik dari perutnya, terasa seperti pasir besi yang berputar di ususnya. Jantungnya berdebar liar di tulang rusuknya, setiap denyutan adalah pengingat yang menyakitkan bahwa ia sedang di ambang kehancuran.”

Membuat Narasi Menjadi Lebih Hidup

Setelah saya mulai menyusun adegan dengan mempertimbangkan ketujuh jenis citra ini, proses menulis saya berubah dari sekadar merekam peristiwa menjadi merancang pengalaman sensorik.

Saya tidak lagi hanya menuliskan: “Dia berada di pasar.”

Saya menuliskan: “Dia berada di pasar. Hidungnya dipukul oleh bau amis ikan asin dan wangi melati dari penjual bunga (Olfaktori). Di telinganya, riuh tawar-menawar bercampur dengan bunyi lonceng yang tergesa-gesa (Auditorik). Saat tangannya menyentuh kain sutra, ia merasakan dinginnya tekstur yang licin (Taktil), dan perutnya bergetar karena lapar yang memilin (Organik). Ia bergerak dengan cepat dan kikuk di antara kerumunan (Kinestetik), matanya hanya tertuju pada wadah perak kusam yang tergantung di stan jauh (Visual), sambil membayangkan manisnya kue kelapa yang dijanjikan ibunya (Gustatori).”

Tiba-tiba, adegan yang tadinya datar menjadi hidup, berlapis, dan kaya.

Bagi setiap penulis yang merasa ceritanya kurang ‘rasa’, cobalah tantangan ini: Dalam adegan penting berikutnya, pastikan Anda menggunakan setidaknya tiga dari tujuh jenis citra di atas. Anda tidak hanya akan memperkaya deskripsi Anda, tetapi Anda akan benar-benar membebaskan indra pembaca.

Citra bukan hanya hiasan. Citra adalah fondasi emosional yang membuat pembaca tidak hanya membaca cerita Anda—tetapi menghuninya. Dan itulah, pada akhirnya, tujuan tertinggi kita sebagai penulis.