Saya dulu percaya bahwa tugas seorang penulis hanyalah menulis. Duduk di meja kerja, menatap layar kosong, lalu mengisi halaman demi halaman sampai cerita menemukan bentuknya. Semua selebihnya, terutama hal-hal berbau media sosial, terasa tidak penting. Instagram, dengan dunia visualnya yang gemerlap dan penuh perhatian, bagi saya justru seperti panggung yang menakutkan. Apa gunanya seorang penulis yang lebih suka bersembunyi di balik karakter fiksi tiba-tiba harus mengumbar diri?
Keyakinan itu mulai goyah ketika editor pertama saya menatap saya sambil berkata, “Bagus sekali naskahnya. Tapi, bagaimana dengan platform Anda? Siapa yang akan tahu kalau buku ini ada, jika tidak ada seorang pun yang mengenal penulisnya?” Kalimat sederhana itu seperti pukulan telak. Saya baru menyadari satu hal: di zaman ini, seorang penulis tak hanya dituntut menulis, tapi juga membangun rumah—sebuah ruang di mana pembaca bisa datang, mengenal, lalu memutuskan untuk tinggal. Dan rumah itu, anehnya, sering kali bernama Instagram. Maka, dimulailah perjalanan saya yang canggung untuk membangun personal branding sebagai penulis.
Bukan Jualan, tapi Berbagi (Vibe Check)
Pada awalnya saya mencoba mengikuti jejak penulis lain yang sudah lebih dulu sukses. Feed mereka rapi, penuh warna senada, seperti majalah. Saya mencoba menirunya. Hasilnya? Saya sendiri merasa asing. Saya seperti sedang mengenakan pakaian orang lain, terlalu longgar, dan tidak nyaman.
Pencerahan datang saat saya mempelajari penulis bestseller favorit saya. Saya menyadari, mereka tidak hanya menjual buku; mereka menjual vibe, atau filosofi yang mendasari tulisan mereka. Dari sanalah saya belajar bahwa Instagram bukan soal pamer, melainkan soal berbagi suasana. Ia harus menjadi perpanjangan dari dunia yang saya bangun di tulisan. Kalau novel saya bernuansa gelap dan misterius, mengapa saya harus memaksakan foto selfie ceria dengan filter bunga? Sejak itu, saya mulai memilih warna, gaya tulisan, dan jenis unggahan yang benar-benar mewakili dunia imajinasi saya.
Saya menyadari, Instagram harus menjadi ekstensi visual dari cerita yang saya tulis. Jika saya menulis dark fantasy yang misterius, feed saya tidak mungkin dipenuhi dengan foto-foto selfie ceria dengan filter bunga.
Tiga Kategori Konten Ajaib (The Holy Trinity)
Apa yang harus saya bagikan kalau buku saya bahkan belum terbit?
Saya sempat buntu di pertanyaan ini. Tetapi setelah mengamati penulis bestseller yang sukses. Ternyata, mereka tidak hanya membicarakan produk akhir, tetapi justru mengundang pembaca masuk ke dalam proses kreatif seorang penulis. Saya pun mulai berani menunjukkan papan catatan berantakan, secangkir kopi di meja kerja, atau kutipan kecil dari draf yang belum selesai. Hal-hal sederhana yang sebelumnya saya anggap remeh, ternyata justru membuat orang merasa dekat.
Dari situ saya juga belajar bahwa penulis bukan hanya penulis, tetapi juga pembaca. Orang ingin tahu buku apa yang sedang saya baca, tokoh seperti apa yang membuat saya jatuh cinta, bahkan trope apa yang diam-diam saya sukai dan kemudian saya masukkan ke dalam cerita. Ternyata berbicara tentang bacaan orang lain, mendiskusikan kisah yang kita cintai bersama, bisa menciptakan jembatan. Instagram, dengan segala keterbatasannya, berubah menjadi ruang diskusi, bukan hanya etalase.
Bagian tersulit untuk saya, tentu saja, adalah menunjukkan sisi pribadi. Sebagai introvert, saya selalu ingin menarik garis tegas antara diri saya dan karya saya. Tetapi semakin lama, saya sadar pembaca bukan hanya ingin tahu cerita, mereka ingin tahu siapa yang menulis cerita itu. Saya mulai berbagi potongan kehidupan kecil: perjalanan singkat ke hutan yang kemudian mengilhami sebuah adegan, camilan yang menemani saya di malam panjang menulis, atau kucing saya yang tak pernah bosan tidur di atas tumpukan draft. Anehnya, justru di momen-momen kecil seperti itulah saya merasa paling terhubung dengan orang-orang.
Keterlibatan (Engagement) adalah Mata Uang
Dulu saya sempat berpikir, “Kalau aku sudah posting, tugas selesai.” Ternyata saya keliru besar. Instagram bukan etalase yang hanya butuh diisi, melainkan ruang sosial yang bernapas lewat percakapan. Di sinilah saya mulai memahami bahwa engagement—atau keterlibatan—adalah mata uang yang sesungguhnya. Penulis-penulis bestseller yang saya kagumi tidak hanya unggul dalam menulis caption indah, mereka hadir, menyapa, dan berinteraksi.
Saya pun menetapkan aturan kecil untuk diri sendiri: setiap kali mengunggah sesuatu, saya harus meluangkan setidaknya lima belas menit sesudahnya untuk benar-benar hadir. Hadir itu artinya membalas komentar bukan sekadar dengan “terima kasih,” melainkan dengan hati—menambahkan pertanyaan balik, membuka ruang untuk dialog. Hadir juga berarti keluar dari zona saya sendiri: mampir ke halaman penulis lain, meninggalkan komentar yang tulus, dan ikut mengapresiasi karya mereka.
Lama-kelamaan, saya menemukan betapa menyenangkannya interaksi sederhana semacam itu. Bahkan fitur kecil seperti polling, kotak pertanyaan, atau kuis di Stories bisa mengubah hubungan saya dengan pembaca. Dari sekadar pengikut yang pasif, perlahan mereka menjelma menjadi teman yang betul-betul hadir—orang-orang yang tidak hanya membaca postingan saya, tetapi juga ikut merayakan perjalanan menulis saya.
Realisasi Akhir
Perjalanan membangun personal branding ini bukanlah tentang mengubah diri saya menjadi salesperson. Ini adalah tentang mengubah diri saya dari penulis tersembunyi menjadi Storyteller yang berbagi perjalanan saya secara terbuka.
Personal branding adalah cara bagi pembaca untuk menemukan ‘pintu’ menuju dunia saya, bahkan sebelum buku saya ada di rak. Saya tidak lagi takut; saya bersemangat.
Kini, Instagram bukan lagi beban, melainkan rumah komunitas saya—tempat di mana ide-ide bersemi, hype dibangun, dan yang terpenting, tempat di mana pembaca potensial saya menunggu dengan sabar untuk Bab 1 berikutnya.
Jika Anda seorang penulis yang masih ragu, ingatlah ini: Anda tidak menjual buku; Anda menjual janji tentang pengalaman membaca yang tak terlupakan. Dan janji itu dimulai dengan sebuah post di Instagram.