Membangun Panggung Penulis Sebelum Buku Lahir

Dalam Artikel Ini

Ketika saya mulai menulis naskah pertama saya, ada satu pertanyaan yang terus menghantui: bagaimana caranya orang akan tahu bahwa saya menulis, jika saya bahkan belum punya buku untuk ditunjukkan?

Dulu saya pikir panggung penulis itu otomatis hadir ketika buku sudah terbit. Ada sampul cantik untuk dipamerkan, ada ulasan untuk dibagikan, ada tanggal rilis yang ditunggu-tunggu. Tapi ternyata, justru sebelum buku itu lahir, panggung itu sudah harus dibangun. Tanpa itu, naskah yang kita tulis bisa seperti berteriak di ruang hampa.

Saya pun mulai belajar: platform penulis bukan sekadar etalase untuk buku yang sudah jadi, melainkan ruang untuk membangun kehadiran, cerita, dan interaksi dengan calon pembaca. Dan ternyata, caranya lebih dekat dan lebih sederhana dari yang saya bayangkan.

Membangun Fondasi: Lebih dari Sekadar Foto Profil

Langkah pertama yang saya sadari adalah pentingnya konsistensi. Semua akun media sosial saya—Instagram, Twitter, bahkan blog—perlu berbicara dalam “bahasa visual” yang sama.

Kalau saya menulis fantasi gelap, misalnya, tidak mungkin saya hadir dengan nuansa pastel yang manis. Itu akan membuat calon pembaca bingung. Jadi saya menyelaraskan semuanya: gambar profil, warna, hingga font. Intinya sederhana: biarkan orang yang mampir merasakan “suasana” cerita saya bahkan sebelum membaca satu kata pun.

Dan ketika membagikan kutipan, saya juga belajar untuk tidak sekadar menempelkan teks biasa. Kutipan bisa menjadi magnet, jika ditampilkan dengan latar belakang yang sesuai dengan nuansa cerita. Saya ingin calon pembaca berhenti sejenak di linimasa mereka, lalu berkata: oh, ini menarik.

Tentu, ada juga soal melindungi diri. Saya sadar tidak semua bagian draf harus diumbar. Terlalu banyak berbagi bisa membuka peluang plagiarisme, apalagi di era AI. Saya memilih untuk hanya membagikan secukupnya: genre, beberapa judul pembanding, atau satu-dua kalimat sinopsis. Itu sudah cukup untuk menyalakan rasa ingin tahu.

Dan satu hal yang membuat semuanya lebih rapi: saya mulai membiasakan diri menyematkan (pin) postingan penting di bagian atas profil. Entah itu perkenalan, info proyek, atau nantinya pengumuman cover buku. Jadi siapa pun yang baru berkunjung langsung tahu, “oh, ini yang sedang saya kerjakan.”

Menghidupkan Dunia: Konten yang Mengundang Intrik

Begitu fondasi terpasang, saya mulai bertanya: kalau belum ada buku untuk dijual, apa yang bisa saya bagikan? Jawabannya: atmosfer, karakter, dan rasa cerita.

  • Mood board. Saya membuat papan suasana berisi katedral tua, kain beludru usang, dan langit malam penuh bintang. Pembaca yang melihat langsung bertanya, “ini untuk cerita apa?” Dari sana, intrik pun tumbuh.

  • Karakter. Saya memperkenalkan tokoh utama lewat ilustrasi dan deskripsi singkat. Bukan tentang nasib mereka, melainkan siapa mereka. Pembaca ternyata lebih dulu jatuh cinta pada tokoh, bahkan sebelum tahu plotnya.

  • Kutipan pilihan. Saya membagikan satu-dua kalimat dari draf. Tidak banyak, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa saya bukan hanya punya ide, melainkan juga punya suara penulisan.

Kadang saya juga bermain dengan trope—bahasa gaul pembaca genre. Cukup dengan menuliskan “enemies to lovers” atau “chosen one yang enggan,” para pembaca sudah langsung tahu arah ceritanya. Mereka yang menyukai trope itu akan otomatis tertarik.

Menampakkan Penulis di Baliknya

Yang tak kalah penting, saya belajar bahwa pembaca ingin mengenal orang di balik cerita. Maka saya mulai berbagi hal-hal kecil:

  • Tips menulis yang benar-benar saya pakai sendiri, misalnya cara mengatasi kebuntuan.

  • Foto halaman catatan penuh coretan atau peta dunia fiksi yang saya gambar seadanya.

  • Kisah pribadi yang berkaitan dengan tulisan—seperti perjalanan ke museum yang kemudian menginspirasi detail di dalam cerita.

Hal-hal itu membuat proses menulis saya terasa lebih nyata, lebih manusiawi, dan bukan sekadar layar penuh teks.

Mengajak Pembaca Terlibat

Akhirnya, saya sadar bahwa platform bukan hanya soal memberi, tapi juga soal mengajak orang terlibat. Saya mulai membuat permainan kecil, misalnya memberi petunjuk tentang judul bab dan meminta audiens menebak. Atau saya membagikan playlist musik yang saya dengarkan saat menulis, agar pembaca bisa ikut “merasakan” atmosfer cerita.

Bahkan, saya juga memanfaatkan keahlian pribadi—dalam kasus saya, linguistik—untuk membuat sumber daya kecil, misalnya panduan tentang merancang bahasa fiksi. Dengan begitu, platform saya tidak hanya soal promosi, tapi juga tempat berbagi pengetahuan.

Penutup: Panggung yang Sedang Dibangun

Kini, saya menyadari bahwa membangun platform penulis adalah proses paralel dengan menulis buku itu sendiri. Bukan hal yang harus menunggu sampai naskah selesai.

Setiap mood board yang saya unggah, setiap kutipan yang saya bagikan, setiap interaksi kecil dengan pembaca—semuanya adalah batu bata yang membangun panggung. Dan meski buku saya belum terbit, saya tidak lagi merasa menulis sendirian di lorong sunyi.

Jadi, kalau Anda juga seorang penulis yang sedang berjuang dengan naskah pertama, mungkin inilah waktunya untuk mulai. Bangun panggungmu sekarang. Bukan untuk pamer, tapi untuk mengundang calon pembaca agar suatu hari nanti, ketika buku Anda siap lahir, sudah ada kursi-kursi yang terisi, menunggu untuk mendengarkan cerita Anda.