Penerbitkolofon.com – Kamu mungkin pernah berpikir, “Saya pengen jadi penulis, tapi saya bukan lulusan sastra.” Saya di sini ingin bilang, itu bukan alasan untuk nggak menulis.
Justru banyak penulis hebat yang latar belakang pendidikannya bukan sastra—seperti Andrea Hirata yang kuliah di Teknik Industri, atau J.K.
Rowling yang belajar Bahasa Prancis dan Klasik. Mereka membuktikan bahwa menulis itu soal tindakan, bukan ijazah. Jadi, kalau kamu punya niat, saya yakin kamu bisa produktif menulis—bahkan tanpa latar sastra.
Menjadi Penulis Produktif Itu Mulai dari Pikiran
Sebelum kita bicara teknik dan tools, mari atur mindset dulu:
Saya percaya menulis itu bukan tentang bakat turun-temurun atau teori sastra—penulis sejati adalah orang yang benar-benar menulis.
Ini bukan opini kosong; Stephen King sendiri menulis dalam bukunya “On Writing” bahwa para amatir menunggu inspirasi, sedangkan penulis sejati “bangun dan bekerja” .
Artinya, kalau kamu ingin produktif, kamu harus mengubah paradigma: menulis bukan soal inspirasi saja, tapi soal disiplin.
1. Jadikan Menulis Rutinitas Harian Kamu
Kamu tidak harus langsung menulis ribuan kata sehari. Paket kecil sehari pun cukup, yang penting teratur.
Penelitian dari University of California (UCI Writing Center) menyebut praktik menulis konsisten—meski cuma satu halaman per hari selama lima hari seminggu—bisa menghasilkan lebih dari 250 halaman dalam setahun ([Writing Center]. Hebat, kan?
Saya sendiri memulai dengan menulis 15 menit setiap pagi. Sekarang, saya bisa menyisihkan 1–2 jam per hari. Kamu bisa menyesuaikan kapan di awal atau akhir hari cocok dengamu.
Apa untungnya menulis tiap hari?
Meningkatkan keterampilan menulis secara bertahap. Membantu otak membangun alur kreativitas dan menjadikan tulisan sebagai bagian dari kehidupan rutin.
Kalau kamu suka angka, coba lagi pendekatan SMART Goals: menulis tiap hari 300 kata selama 30 hari, misalnya. Ini jelas, terukur, dan masuk akal.
2. Gunakan Metode Pomodoro
Saya tidak akan larut di sisi teknis, tapi metode Pomodoro seorang penulis Italia, Francesco Cirillo, banyak terbukti ampuh.
Intinya: fokus menulis 25 menit, lalu istirahat 5 menit. Setelah empat kali, ambil istirahat panjang (15–30 menit).
Mengapa ini efektif?
Menjaga fokus tinggi tanpa kelelahan. Membuat otak terasa segar sebelum mengulang, dan membantu memetakan waktu: merasa “wah, saya sudah selesaikan 4 sesi Pomodoro”
Banyak penulis—termasuk di komunitas akademik—mengaku Pomodoro membantu mereka menyelesaikan tulisan panjang. Bahkan redditor di Reddit mengatakan:
“The Pomodoro technique is honestly the only reason I have words written at this point. It fits perfectly…”
Kalau kamu seorang CEO atau pelaku bisnis dengan jadwal padat, pola ini bisa kamu sesuaikan: misalnya 50 menit fokus, 10 menit istirahat—sesuaikan sesuai ritme kerjamu.
3. Bangun Ritual Menulis yang Mendukung Deep Work
Cal Newport, profesor Georgetown, menulis tentang “Deep Work”—kondisi fokus tinggi tanpa gangguan. Ia menyarankan agar kamu membangun rutinitas dan ritual tertentu sebelum menulis .
Misalnya: Menata meja: hanya ada laptop dan catatan. Memutar musik instrumental low-volume dan menentukan tujuan sesi, contoh: “Saya akan menyelesaikan satu subjudul hari ini”
Dengan ritual yang konsisten, otakmu akan terbiasa masuk mode menulis tanpa harus berpikir panjang.
4. Mulai dari Tulisan Personal dan Otentik
Kalau kamu masih ragu, mulai saja dari hal yang kamu tahu—pengalaman pribadi, tantangan di tempat kerja, perjalanan hidup, kesuksesan maupun kegagalan. Teknik writing from memory (menulis dari ingatan) terbukti efektif karena menyentuh emosi dan otentisitas .
Stephen King memberi tips sederhana: cukup tulis satu kalimat yang benar-benar kamu yakini . Dari satu kalimat itu, cerita bisa berkembang jadi tulisan yang hidup.
5. Baca Banyak, Pastikan Ragam Genre
Kata Stephen King lagi: kalau kamu tidak punya waktu baca, kamu juga tidak punya alat untuk menulis .
Tapi kamu tidak harus membaca karya sastra klasik. Sebaliknya, baca artikel populer di Medium, blog, novel ringan, jurnal, bahkan caption viral di media sosial. Keberagaman bacaan akan memperkaya gaya tulismu, memperluas kosa kata, dan memperlebar cara pandang kamu tentang menulis.
6. Gunakan Platform Publikasi Mandiri
Saya tahu kamu mungkin ingin tulisanmu dibaca orang lain, bukan cuma disimpan di hard disk.
Platform seperti Medium, Wattpad, Substack, atau blog pribadi di WordPress dan Ghost sangat ideal untuk latihan sekaligus membangun audiens sendiri. Data dari Statista menunjukkan tren self-publishing terus naik, karena orang punya kontrol penuh terhadap isi dan monetisasi karya mereka .
Kamu bisa bereksperimen: coba terbitkan artikel pendek, cerpen, atau refleksi harian. Tonton respon pembaca—komen mereka bisa sangat meningkatkan motivasi.
7. Dibutuhkan Komunitas, Agar Kamu Tidak Sendirian
Menulis itu terkadang terasa sepi. Untuk itu, saya anjurkan kamu bergabung komunitas menulis—online maupun offline.
Online, kamu bisa gabung grup Facebook atau Telegram seperti “One Day One Post” atau “Kelas Menulis Online”. Offline, cari komunitas lokal yang rutin mengadakan sharing, nulis bareng, atau mentoring.
Riset Harvard Business Review (2019) menunjukkan bahwa orang yang punya dukungan sosial dalam proses kreatif cenderung lebih tahan menghadapi rintangan dan lebih produktif .
Saya sendiri sering ikut sesi nulis bareng online. Suasana kompetisi ramah itu bikin saya jadi lebih rajin dan disiplin.
8. Terima Saja Jika Tulisan Pertama Belum Bagus
Buku Anne Lamott “Bird by Bird” menyebut fase pertama menulis sebagai “shitty first draft” . Saya sebut ini sebagai tahap penggalian—bukan soal kualitas, tapi soal keluarin kata.
Jadi kalau kamu merasa tulisanmu buruk, itu wajar. Saya pun pernah menulis paragraf yang rasanya absurd. Tapi dari situ saya perbaiki, revisi, dan akhirnya jadi karya yang layak baca. Tulisan yang bagus lahir dari revisi, bukan dari langsung sempurna.
9. Pantau Kebiasaan Menulismu
Kalau kamu ingin lebih data-oriented, sebuah jurnal atau bullet journaling bisa menjadi alat bagus. Menuangkan capaian harian membuat kamu sadar progres dan meningkatkan motivasi. Salah satu artikel dari Marie Claire menunjukkan bahwa jurnal semacam ini bisa meredam stres sekaligus membawa produktivitas lebih tinggi .
Sistem bullet journal sederhana: daftar tugas, bagian khusus refleksi, dan tracking rutin yang bikin kamu merasa punya catatan kemajuan nyata.
10. Terapkan Konsep Slow Productivity
Saya menyadari, kadang kita terjebak “performance mode”—mengira produktif berarti kerja nonstop. Padahal Cal Newport lewat bukunya Slow Productivity mengajak kita fokus pada kualitas, bukan kuantitas. Bekerja lebih sedikit tapi hasilnya lebih bermakna.
Beberapa praktiknya, kurangi jumlah sesi menulis panjang, coba ubah ke 1–2 sesi dalam sehari. Batasi topik dalam satu sesi supaya ada fokus dan isipkan aktivitas refleksi atau baca sebelum menulis, bukan langsung “gas pol”
Dengan begitu, kamu menjaga keseimbangan mental dan mencegah burnout—yang kalau dibiarkan, apalagi tanpa dasar sastra, bisa bikin kamu kapok menulis sama sekali.
Menutup dengan Sapaan CEO yang Hangat
Kamu tidak perlu ijazah sastra untuk jadi penulis—yang kamu butuhkan adalah komitmen, kerangka yang jelas, serta sistem yang mendukung. Saya percaya dengan langkah-langkah ini, kamu bisa:
1. Menulis secara konsisten
2. Menghasilkan tulisan yang semakin baik
3. Menikmati prosesnya tanpa terbebani
Ingat bahwa setiap orang memulai dari nol. Saya pun memulainya dari paragraf pertama yang terasa canggung. Sekarang, saya bisa membantu orang lain lewat tulisan. Dan kamu juga bisa sampai di situ.
Kalau kamu ingin saya bantu susun template jadwal menulis harian, contoh latihan menulis, atau format blog dengan gaya profesional, cukup bilang. Saya siap membantu.
Selamat menulis, dan semoga–hari ini kamu menemukan satu kalimat yang akan membawa kamu pada tulisan hebat berikutnya.