5 Kesalahan Penulis Pemula Saat Menerbitkan Buku Pertama: Panduan Nyata dari Saya untuk Kamu

Ilustrasi Kesalahan Penulis Pemula Saat Menerbitkan Buku Pertama. (Freepik)

Dalam Artikel Ini

Penerbitkolofon.com – Saya ingin mulai dengan satu pengakuan: menerbitkan buku pertama adalah momen yang penuh euforia dan kecemasan sekaligus. Kamu mungkin sedang berada di fase yang sama sekarang. Antara bangga karena akhirnya kamu berhasil menyelesaikan naskah, tapi juga bingung harus melangkah ke mana selanjutnya. Saya tahu persis rasanya.

Waktu saya menulis buku pertama, saya kira kerja keras terbesar ada di proses penulisan. Ternyata saya keliru. Justru saat naskah selesai, tantangan yang sebenarnya baru dimulai. Mulai dari revisi, penerbitan, sampai promosi—semuanya punya kompleksitas yang tidak saya duga.

Di artikel ini, saya ingin berbagi lima kesalahan umum yang sering dilakukan penulis pemula saat menerbitkan buku pertama. Bukan hanya dari pengalaman pribadi, tapi juga dari banyak penulis lain yang pernah curhat ke saya, dan juga dari sumber-sumber terpercaya. Tujuan saya cuma satu: supaya kamu tidak mengulangi kesalahan yang sama. Saya ingin kamu bisa memulai karier menulismu dengan pondasi yang kokoh dan strategi yang terencana.

Langsung saja kita masuk ke pembahasan.

Kesalahan Pertama: Terburu-buru Ingin Segera Terbit, Tanpa Revisi Matang

Kalau kamu merasa sudah cukup dengan satu kali baca ulang sebelum mengirim naskah ke penerbit atau mencetaknya sendiri, izinkan saya bilang ini secara jujur: kamu sedang membuat kesalahan besar.

Menulis dan mengedit itu dua aktivitas yang sangat berbeda. Saat kamu menulis, kamu menuangkan ide. Saat mengedit, kamu menyusun ulang ide itu supaya lebih kuat, lebih jelas, dan lebih menarik. Sering kali kita sebagai penulis merasa semua sudah bagus karena kita terlalu dekat dengan tulisan kita sendiri. Tapi pembaca tidak tahu niat kamu. Mereka hanya membaca hasil akhir.

Saya pernah baca data dari American Society of Journalists and Authors. Mereka menyebutkan bahwa mayoritas buku self-published yang gagal di pasaran punya satu kesamaan: editing yang buruk. Sementara editor profesional rata-rata butuh 2 hingga 4 minggu hanya untuk membaca dan memberi catatan pada satu naskah penuh.

Jadi, apa solusinya?

Pertama, beri jeda waktu setelah selesai menulis. Saya biasanya menunggu minimal satu minggu sebelum membaca ulang. Tujuannya agar saya bisa melihat tulisan saya seperti orang luar—lebih objektif dan kritis.

Kedua, gunakan beta reader. Mereka bisa teman, mentor, atau komunitas menulis yang kamu percaya. Minta pendapat mereka secara jujur, bukan sekadar pujian.

Ketiga, kalau memungkinkan, gunakan jasa editor profesional. Kalau kamu belum sanggup bayar editor penuh, mulailah dengan line editing atau copyediting saja. Anggap itu sebagai investasi masa depan.

Terakhir, baca naskahmu dengan suara keras. Ini terdengar sepele, tapi membantu banget. Kamu akan tahu mana kalimat yang canggung, terlalu panjang, atau berputar-putar.

Revisi itu bukan tanda kamu gagal. Justru itu bukti kamu peduli pada pembaca kamu.

Kesalahan Kedua: Tidak Jelas Siapa Pembacanya

Saat saya tanya pada penulis pemula, “Kamu menulis untuk siapa?”, banyak yang menjawab, “Untuk semua orang.” Jawaban itu terdengar ideal, tapi dalam kenyataannya, buku yang ditujukan untuk semua orang sering kali tidak menyentuh siapa-siapa.

Saya belajar dari pengalaman, bahwa semakin tajam kamu mengenali pembacamu, semakin kuat tulisan kamu bicara pada mereka. Bahkan saat kamu menulis novel fiksi sekalipun, kamu tetap harus tahu siapa yang akan membaca. Apakah anak remaja? Mahasiswa? Ibu rumah tangga? Profesional muda? Masing-masing kelompok itu punya cara bicara, selera humor, dan referensi yang berbeda.

Misalnya, kalau kamu menulis buku motivasi, pastikan kamu tahu apakah kamu bicara ke fresh graduate yang masih bingung arah hidup, atau ke orang 30-an yang ingin pindah karier. Kedua pembaca ini membutuhkan pendekatan berbeda.

Apa yang bisa kamu lakukan?

Pertama, buat persona pembaca. Ini semacam profil imajiner yang mewakili audiens utama kamu. Tulis detailnya. Usia, pekerjaan, minat, masalah utama yang mereka hadapi, dan seperti apa mereka biasanya membaca buku.

Kedua, baca buku sejenis dan lihat siapa yang membaca. Kamu bisa lihat ulasan mereka di Goodreads, di Instagram lewat #bookstagram, atau review di Tokopedia dan Shopee untuk buku cetak.

Ketiga, uji coba. Posting kutipan dari naskah kamu di media sosial dan lihat siapa yang merespon paling aktif. Dari sana kamu bisa tahu siapa yang tertarik pada gaya dan isi tulisan kamu.

Kalau kamu berhasil mengenali pembaca kamu, maka proses penulisan, penyuntingan, hingga promosi buku akan jauh lebih efektif dan menyenangkan.

Kesalahan Ketiga: Menyepelekan Judul, Desain Sampul, dan Blurb

Saya tahu kamu mungkin orang yang lebih suka konten daripada tampilan. Tapi kenyataannya, pembaca membeli dengan mata lebih dulu. Desain sampul dan judul adalah pintu pertama. Kalau pintunya tidak menarik, orang tidak akan masuk. Sesederhana itu.

Menurut data dari Nielsen BookScan dan Goodreads, lebih dari 60% keputusan pembelian buku—baik fisik maupun digital—dipengaruhi oleh desain sampul dan judul yang memikat. Apalagi jika bukumu bersaing di rak toko atau di halaman marketplace.

Waktu saya rilis buku pertama, saya kira judul dan desain bisa saya kerjakan sendiri. Saya pakai Canva, cari font gratis, dan minta pendapat dua tiga teman. Tapi hasilnya, buku saya nyaris tak dilirik karena desainnya kalah bersaing. Sejak itu saya belajar bahwa tidak semua hal bisa dikerjakan sendiri.

Desain sampul bukan cuma soal estetika. Tapi juga soal branding, positioning, dan storytelling. Judul juga begitu. Harus pendek, kuat, dan menggugah rasa ingin tahu.

Saran saya:

Kalau kamu bisa, investasikan di desainer sampul profesional. Banyak kok desainer lepas dengan harga terjangkau yang bisa kamu temukan di platform seperti Sribulancer, Fiverr, atau komunitas penulis lokal.

Untuk judul, buat minimal 10 opsi lalu uji ke teman atau follower kamu. Minta mereka memilih mana yang paling menarik.

Dan jangan lupakan blurb atau deskripsi singkat di belakang buku. Ini bukan sinopsis biasa. Ini semacam sales pitch yang harus membuat pembaca ingin tahu lebih. Tulis seperti kamu sedang menjual sesuatu yang sangat berharga—karena memang benar begitu.

Kesalahan Keempat: Tidak Menyusun Strategi Promosi

Banyak penulis berpikir bahwa setelah buku terbit, tugas mereka selesai. Padahal menurut saya, fase terpenting justru dimulai di sini: bagaimana membuat buku kamu dikenal dan dibaca orang lain.

Saya pernah ngobrol dengan editor dari salah satu penerbit besar. Katanya, dari 10 buku baru yang mereka terbitkan setiap bulan, hanya 2 atau 3 yang benar-benar laku keras. Apa bedanya? Penulis yang laris bukan cuma hebat menulis, tapi juga aktif membangun hubungan dengan pembacanya.

Promosi bukan berarti kamu harus jadi selebgram atau punya ribuan followers. Tapi kamu perlu punya rencana.

Misalnya begini:

Mulai bangun audiens sejak kamu menulis naskah. Bisa lewat blog, Instagram, newsletter, atau komunitas Telegram. Ceritakan proses menulis kamu, tantangan, kutipan, atau behind the scenes.

Siapkan tim kecil untuk bantu promosi saat peluncuran buku. Bisa teman-teman dekat atau relawan dari komunitas pembaca.

Kirimkan buku kamu ke reviewer atau influencer buku. Jangan malu. Banyak dari mereka senang mereview buku lokal, apalagi jika kamu punya pendekatan yang personal.

Adakan diskusi daring. Sekarang banyak penulis membuat sesi ngobrol ringan via Zoom atau Instagram Live untuk membahas bukunya. Ini cara efektif membangun interaksi.

Buat konten promosi yang tidak terasa jualan. Misalnya, kamu bisa menulis kutipan dari buku kamu dan kaitkan dengan kejadian sehari-hari yang relatable.

Promosi bukan kegiatan satu minggu. Kamu butuh rencana minimal tiga bulan ke depan pasca rilis. Dan kalau kamu tekun, buku kamu akan menemukan jalannya sendiri ke lebih banyak pembaca.

Kesalahan Kelima: Mengabaikan Jalur Distribusi dan Format Digital

Terakhir, banyak penulis pemula hanya berpikir tentang buku fisik. Padahal sekarang pembaca juga ada di mana-mana—di marketplace, di Kindle, di Google Play Books, bahkan di audiobook.

Kalau kamu hanya cetak terbatas dan jual lewat Instagram pribadi, kemungkinan bukumu akan cepat hilang dari peredaran. Sayang, kan?

Kamu perlu pahami bahwa distribusi adalah salah satu kunci agar buku kamu bisa bertahan lama. Jangan hanya fokus di satu platform. Gunakan kombinasi:

Cetak fisik untuk komunitas lokal dan pameran buku.

eBook untuk pasar digital. Kamu bisa menggunakan Google Play Books, Gramedia Digital, Amazon Kindle, atau platform lokal seperti Mizanstore dan Storial.

Kalau memungkinkan, buat audiobook. Banyak pembaca di kalangan profesional lebih suka mendengar saat perjalanan atau saat olahraga. Ini pasar yang belum banyak digarap, tapi potensial.

Untuk teknis distribusi, kamu bisa pelajari platform seperti Print-on-Demand (POD) lewat KDP Print atau IngramSpark. Dengan POD, kamu tidak perlu cetak ratusan buku dulu. Buku akan dicetak sesuai pesanan, dan bisa dikirim langsung ke pembeli.

Intinya, perluas jangkauan bukumu dengan cara yang cerdas dan efisien.